Ada versi yang mengatakan Toga Simamora merantau ke daerah Pakkat dan
Barus dan mempunyai keturunan di sana yaitu Tuan Sumerham.
Anaknya Purba (menurut Batak Toba) ada 3 (tiga) yakni :
Pantomhobol
Parhorbo
Sigulang Batu
Pantomhobol anaknya ada 3 (tiga) yakni :
Tuan Didolok
Pargodung
Balige Raja
Parhorbo anaknya ada 3 (tiga) yakni :
Parhoda-hoda
Marsahan Omas
Tuan Manorsa
Sigulang Batu anaknya ada 2 (dua) yakni :
Raja Dilangit
Raja Ursa
Ompung Marsahan Omas (dalam bahasa Indonesia berarti Ber-cawan Emas, karena kebiasaannya minum dari cawan Emas)
Keturunan Purba Tanjung berasal dari garis keturunan Ompung Marsahan
Omas, Purba Tanjung berasal dari Sipinggan, Simpang Haranggaol,
Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun.
Beberapa sumber
menyatakan bahwa "Tanjung" pada marga ini berasal dari lokasi kampung
Sipinggan yang merupakan sebuah Tanjung di Danau Toba, arah Haranggaol.
Marsahaan Omas memiliki keturunan bernama Bongguran yang memiliki
kebiasaan "maranggir" (mandi air jeruk purut) di sekitar kampung Nagori,
dengan menggunakan cawan emas.
Marsahan Omas memiliki 3 keturunan:
Tuan Siborna
Nahoda Raja
Namora Soaloon
Nahoda Raja memiliki anak bernama Raja Omo yang merupakan Purba Tanjung pertama yang bermukim di Sipinggan.
Tuan Manorsa memiliki 5 Keturunan :
Ompung Tarain
Sorta Malela
Soim Bangun
Sombu Raja
Ompung Hinokop
Purba Tuan Manorsa menulis dgn jujur bagaimana Tuan Manorsa membunuh istrinya, kabur meninggalkan 3 anak balita,
kawin lagi dipelarian,
meninggalkan istri kedua disamosir,
kawin lagi di haranggaol.
Puluhan tahun anaknya yg di Toba mencari, menapak tilas jejak ayahnya, lalu thn 1930 menemukan akarnya diperantauan,
sejarah mencatat bagaimana isak tangis keturunan yg terpisah ratusan tahun,
saling memafkan kesalahan ayah dan berdoa bersama supaya Tuhan ampuni
dosa nenek moyang dan bangkitkan generasi yg takut akan Tuhan.
Tuan manorsa bukan membunuh istrinya secara langsung, tetapi karena
cemburu saat melihat istrinya br Pasaribu sedang mencari kutu
paribannya, maka dia memotong payudara istrinya lalu melarikan diri dgn
meninggalkan 3 org anak lelaki yakni :
Soimbangon
Sorta malela
Op taraim
Karena dikejar Raja Pasaribu. kemudian oppung boru meninggal (mungkin karena infeksi dan hipovolemia/ kurang darah).
Dan menetap di Samosir.
Kemudian merantau ke Simalungun dan saat pulang ke Samosir menemukan istrinya sdh meninggal.
Lalu membawa kedua putranya ke simalungun dan menikah lagi di Simalungun.
Kemudian Tuan Manorsa kawin lagi dgn br Tamba
dan punya dua anak lelaki yakni :
Sombu Raja/Raja Tarbuang
Op hinokkop
Ompung Hinokop Mempunyai anak yakni
Raja Bara dan
Raja Bara memiliki 2 Keturunan yakni :
Tondang
Tambun Saribu
Purba Sigulang Batu anaknya ada 2 (dua) yakni :
Partaliganjang(Parlangka Jolo)
Guru Sotangguon
Anaknya Guru Sotangguon ada 2 (dua) yaitu :
Somalate
Datu Rajim
Anaknya Somalate ada 2 yaitu :
Juaro Parultop
Datu Parulas
Catatan : Sesuai tarombo, Juaro Parultop dan Datu Parulas merupakan anak kembar (silinduat),
makanya kadang Purba yang dari Simalungun yang punya tarombo menuliskannya dengan Datu Parultop/Parulas.
Keduanya merupakan orang sakti (datu bolon), mungkin ceritanya agak panjang.
Juaro Parultop memperanakkan :
Purba Tambak
Tarigan (di karo)
Purba Batu.
Datu Parulas memperanakkan :
Girsang
Siboro
Purba yang ada di Simalungun
Raja-Raja Kerajaan Purba :
Tuan Pangultop Ultop (1624-1648)
Tuan Ranjiman (1648-1669)
Tuan Nanggaraja (1670-1692)
Tuan Batiran (1692-1717)
Tuan Bakkaraja (1718-1738)
Tuan Baringin (1738-1769)
Tuan Bona Batu (1769-1780)
Tuan Raja Ulan (1781-1769)
Tuan Atian (1800-1825)
Tuan Horma Bulan (1826-1856)
Tuan Raondop (1856-1886)
Tuan Rahalim (1886-1921)
Tuan Karel Tanjung (1921-1931)
Tuan Mogang (1933-1947)
Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan.
Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Konon, dulu Desa Purba dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan
kerajaan tertua di Simalungun, yaitu Kerajaan Purba yang hingga akhir
kekuasaanya, terhitung ada 14 raja yang pernah memegang tampuk
kekuasaannya.
Jadi jelaslah bahwa kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan yang pernah ada di wilayah Simalungun.
Sejarah mencatat, ada lima kerajaan besar yang masing-masing menguasai
wilayahnya sendiri-sendiri yang di antaranya tersebar di beberapa
wilayah: Siantar, Panambean, Tanah Jawa, Pematang Raya dan Purba.
Wilayah ini kemudian didiami oleh marga-marga tertentu pula, seperti Saragih, Manik, Sinaga dan Purba sendiri.
Rumah Bolon Pematang Purba sendiri merupakan kediaman Raja Purba yang pertama kali diduduki Tuan Pangultop-ultop (1624-1648),
yang kemudian diteruskan secara turun-temurun dengan sebuah tradisi budaya setempat.
Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan.
Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Ada semacam Tradisi Pengalihan Kekuasaan yang wajib dilakukan. Ketika
raja hendak mewariskan kekuasaannya, diwajibkan untuk menyembelih seekor
kerbau, yang lalu tanduknya disimpan agar kelak menjadi bukti untuk
raja yang akan berkuasa kemudian.
Setidaknya bukti sejarah itu masih dapat terlihat di mana ada 14 tanduk kerbau yang tergantung di dinding ruangan Rumah Bolon.
Lalu, apa dasar pengalihan kekuasaan itu?
Seperti lazimnya dalam tradisi kerajaan yang meneruskan kekuasaan pada anak sulung,
maka prinsip itu tidaklah mutlak dalam tradisi Kerajaan Purba.
“Bukan harus anak sulung, tetapi siapa keturunan yang bagi raja
memiliki talenta untuk menjadi pemimpin, maka ialah yang diangkat
sebagai penerus kerajaan.
Sebenarnya, raja yang mula-mula berkuasa di Kerajaan Purba bukanlah Tuan Pangultop-ultop, melainkan Raja Purba Dasuha.
Tuan Pangultop-ultop sendiri pada awalnya hanyalah pendatang yang
datang dari wilayah Dolok Sanggul yang konon disinyalir berdekatan
dengan wilayah Pakpak Bharat sekarang.
Lantas, mengapa ia kemudian menjadi raja?
Ini masih berdasarkan penuturan Wanson Purba, yang juga merupakan
pegawai dinas pariwisata Kabupaten Simalungun yang dihunjuk untuk
mengawasi bangunan tua itu.
Ia menjelaskan, kedatangan Tuan
Pangultop-ultop ke wilayah Purba awalnya dikarenakan kegemarannya
menangkap burung yang kemudian mengantarkannya ke kawasan Purba.
Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan.
Konon, suatu ketika di wilayah hutan belantara, Purba, ia berhasil
menangkap seekor burung Nanggordaha yang kemudian dari tembolok burung
itu (terdapat biji padi dan jagung), ia mendapatkan makanannya sendiri.
Ketika ia melihat bahwa Purba adalah negeri yang subur, maka ia pun
memohon kepada Raja Purba Dasuha untuk diberikan sebidang tanah.
Tanah itu kelak ia tanami dengan biji padi dan jagung yang ia dapat dari tembolok burung itu.
Ini jugalah yang menghantarkan Pangultop-ultop kepada kejayaan.
Hasil panen yang melimpah dari sebidang tanah atas kebaikan raja itu, ia simpan di sebuah lumbung besar.
Suatu waktu muncullah masa paceklik yang mengakibatkan penduduk kewalahan mencari makanan.
Mengetahui Pangultop-ultop memiliki banyak menyimpan padi dan jagung di lumbungnya,
mereka pun lalu memintanya agar memberikan padi dan jagung yang selama itu ia kumpulkan.
Hanya saja, ia tak mau memberi jika mereka hanya memanggilnya dengan
sebutan “oppung” (kakek atau orang yang dihormati), melainkan panggilan
raja. “Jangan panggil aku oppung jika ingin mendapatkan padi dan jagung
dari saya, tapi panggillah saya raja,” katanya.
Mereka pun memanggilnya demikian, yang lantas diketahui oleh Purba Dasuha.
Merasa pengakuan terhadap dirinya terancam tidak diakui lagi, maka
Purba Dasuha pun mengadakan pertemuan dengan Pangultop-ultop.
“Jika kamu memang raja, maka buktikanlah,” katanya,
Hal ini kemudian dituruti Pangultop-ultop dengan mematuhi peraturan yang ditetapkan Purba Dasuha.
“Marbijah” (disumpahi) adalah prosesi yang menjadi langkah pembuktian itu.
Segenggam tanah, air dan “appang-appang” (kulit kerbau) adalah medianya.
Maka, Pangultop-ultop kembali ke tanah asalnya untuk mendapatkan ketiganya.
Segenggam tanah lalu ditabur, dilapisi appang-appang dan di sampingnya
ditaruh air yang tertuang dalam tatabu (sejenis tempayan air yang
terbuat dari kulit labu).
Disaksikan oleh rakyat, lalu Pangultop-ultop bersumpah di hadapan Purba Dasuha dan para ulubalang,
katanya,
“jika tanah dan air yang aku duduki ini bukanlah milikku,
maka sekarang juga aku matilah.”
Pangultop-ultop pun kemudian meminun air itu.
Waktulah yang kemudian menjawab sumpah itu.
Meski sudah melewati hari, minggu, bulan hingga tahun, namun
Pangultop-ultop tidak mati—seperti lazimnya sebuah sumpah yang
mengandung kebohongan maka maut adalah imbalannya.
Dan waktu jugalah yang menentukan peralihan kekuasaan itu.
“Kuakui, sekarang kamulah raja yang pantas memimpin Kerajaan Purba, sebab sumpahmu tak berbala,”
kata Purba Dasuha kemudian.
Sejak saat itu Pangultop-ultop resmi diangkat menjadi raja, tepatnya pada 1624, yang lalu memimpin hingga 1648.
Sedang raja terdahulu—Purba Dasuha—
masih dianggap sebagai raja, hanya saja ia tidak lagi memerintah.
Lalu setelah membalik kembali kisah itu, benarkah ada unsur politis di sana?
Sekali lagi ini adalah pengungkapan fakta dari seorang Wanson Purba,
yang juga merupakan keturunan Raja Kuraha (panglima raja) Tuan Pangultop-ultop semasa kepemimpinannya.
Ia sendiri mengetahui kisah itu dari ayahnya, P Purba yang selama 43 tahun telah menjaga Rumah Bolon.
Wanson pun tak menepis hal itu.
“Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan,” katanya.
“Pasalnya, tanah dan air serta appang-appang yang digunakan sebagai
media sumpah dibawa sendiri olehnya dari tanah asalnya, sehingga
memungkinkan ia selamat dari maut.”
Jadi, Submarga Purba terdiri dari banyak sub-marga, antara lain :
Girsang
Girsang Jabu Bolon
Girsang Na Godang
Girsang Parhara
Girsang Rumah Parik
Girsang Bona Gondang
Pakpak
Raya
Siboro
Siborom Tanjung
Sidasuha
Sidadolog
Sidagambir
Sigumonrong
Sihala
Silangit
Tambak
Tambun Saribu
Tanjung
Tondang
Tua
Dan lain-lain (silahkan ditambah)
Selain dari sub marga di atas,
beberapa suku yang hidup di sekitar daerah Simalungun juga berbaur dengan penduduk bermarga Purba
dan mengakibatkan timbulnya afiliasi marga-marga lain dengan marga Purba,
antara lain: Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobol.
mantap lae..
BalasHapusok lae
BalasHapusHoras appara.purba do au.gabe lamtabba do.nahuattusi sian taromboi mauliate. YouTube Google
BalasHapusHoras appara.purba do au.gabe lamtabba do.nahuattusi sian taromboi mauliate. YouTube Google
BalasHapusDang masuk akal. Au purba Siboro. Paboa Jo piga sundut jarak ni silahi Sabungan tu purba Siboro.
BalasHapus